Di era serba digital seperti sekarang, hampir semua aktivitas bisnis bisa dilakukan secara online, mulai dari berjualan melalui e-commerce, langganan streaming, sampai transaksi jasa. Tapi, seiring perkembangan pesat ekonomi digital ini, muncul juga tantangan baru di dunia perpajakan. Bagaimana negara bisa memungut pajak dari transaksi digital yang tidak kenal batas wilayah? Bagaimana aturan mainnya supaya adil, tapi tetap mendorong pertumbuhan bisnis digital?
Nah, di sinilah peran regulasi dan kebijakan pajak digital economy mulai jadi sorotan. Ada berbagai tantangan yang dihadapi pemerintah dan pelaku usaha terkait pajak di sektor digital economy, serta aturan-aturan baru. Apa saja itu? Yuk, kupas bersama supaya Anda tidak salah langkah!
Pajak Digital Economy dan Aturannya
Pajak digital economy adalah pungutan fiskal atas transaksi barang atau jasa yang dilakukan secara online melalui platform digital. Aturan ini mencakup beragam layanan, mulai dari streaming video, iklan digital, hingga transaksi di marketplace. Tujuannya apa? Untuk menciptakan keadilan fiskal, sehingga pelaku usaha digital ikut berkontribusi setara dengan pelaku usaha konvensional.
Pada April 2025, pemerintah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 24/PMK.03/2025 yang memperluas cakupan objek PPh final untuk penghasilan yang diperoleh platform digital maupun konten kreator. Tarif PPh final yang berlaku berkisar antara 0,5% hingga 1,5%, tergantung besarnya penghasilan yang didapat.
Tak berhenti di situ, pemerintah juga mengeluarkan PMK Nomor 37/2025 yang menunjuk platform Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai pemungut PPh Pasal 22. Melalui mekanisme ini, omzet para penjual di platform digital akan otomatis dipotong, dilaporkan, dan disetorkan langsung oleh platform ke kas negara.
Tantangan Perpajakan di Era Ekonomi Digital
Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi digital, pelaku usaha harus memahami tantangan perpajakan agar tetap patuh dan bisa beradaptasi. Ada beberapa isu penting yang perlu Anda perhatikan, yaitu:
1. Ketidakjelasan Nexus Fiskal
Dalam sistem pajak konvensional, kewajiban pajak ditentukan oleh keberadaan fisik perusahaan, seperti kantor atau gudang. Namun di era ekonomi digital, perusahaan bisa meraup pendapatan besar dari Indonesia tanpa hadir secara fisik. Karena itu, memahami konsep nexus fiskal yang baru jadi semakin penting.
2. Perbedaan Kebijakan Pajak
Setiap negara memiliki kebijakan tersendiri terkait pajak digital, baik dari sisi tarif maupun objek pajak. Di Indonesia, Anda harus paham perbedaan antara PPN atas layanan digital luar negeri (PPN PMSE) dan PPh final atas pendapatan platform digital sesuai PMK 24/2025.
Perbedaan ini membuka risiko terjadinya double taxation (pajak berganda) atau bahkan double non-taxation (bebas pajak di dua yurisdiksi), terutama jika penyedia platform asing belum ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 berdasarkan PMK 37/2025.
3. Klasifikasi Penghasilan Digital
Pendapatan dari aktivitas digital bisa berasal dari berbagai layanan, seperti streaming, cloud computing, iklan, hingga analisis data. Setiap layanan harus diklasifikasikan dengan tepat, apakah termasuk royalti, jasa, atau penjualan karena akan memengaruhi tarif dan dasar pajaknya. Kesalahan klasifikasi bisa berujung pada sanksi administratif dan koreksi pajak yang memakan waktu serta biaya.
4. Kepatuhan dan Penegakan Hukum
Transaksi digital terjadi secara realtime dan melibatkan banyak platform lintas negara. Untuk memperkuat pengawasan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan integrasi Single Identity Number (SIN) dan sistem pencocokan data (data matching). Meskipun demikian, tantangan tetap ada, seperti proses registrasi wajib pajak luar negeri, validasi NPWP konsumen, serta sinkronisasi laporan antara DJP dan platform digital. Ketidaksesuaian data bisa menghambat kepatuhan pajak secara menyeluruh.
5. Risiko Teknis dan Integrasi Sistem
Hingga akhir 2025, DJP menargetkan implementasi penuh sistem inti perpajakan (core tax system) untuk mendukung pelaporan digital. Namun, kendala teknis seperti gangguan server (downtime), ketidaksesuaian format API antar platform, dan risiko keamanan siber masih menjadi hambatan. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu menyiapkan prosedur cadangan dan melakukan uji coba sistem terlebih dahulu agar proses e-filing dan e-billing berjalan lancar.
6. Implikasi bagi UMKM dan Startup Lokal
Regulasi pajak digital bisa menjadi beban baru bagi UMKM dan startup, terutama dari sisi kepatuhan administratif dan biaya. Untuk itu, pelaku usaha perlu diberikan panduan dalam menyesuaikan sistem akuntansi, memanfaatkan ketentuan pengecualian omzet di bawah Rp500 juta (PMK 37/2025), serta memahami mekanisme collect at source yang memungkinkan pemotongan pajak dilakukan otomatis oleh platform, tanpa mengganggu arus kas bisnis.
Intinya, pajak digital economy bukan sekadar urusan angka dan regulasi, tapi juga bagaimana pemerintah, pelaku usaha, sampai pengguna platform bisa beradaptasi dengan ekosistem digital yang terus berkembang. Tantangannya memang banyak, tapi bukan berarti mustahil untuk dijalani. Nah, jika Anda sebagai pelaku usaha paham aturannya sejak awal, urusan pajak jadi lebih ringan, bisnis pun bisa terus melaju tanpa hambatan.
Untuk itu, JT Consulting hadir sebagai partner andalan Anda dalam menghadapi aturan pajak digital yang kompleks. Sebagai konsultan pajak, kami sudah berpengalaman membantu banyak bisnis dari berbagai skala untuk mengatur kewajiban pajaknya dengan strategi tepat, layanan profesional, dan solusi yang selalu mengikuti regulasi terbaru. Jadi, bersama JT Consulting, Anda bisa fokus mengembangkan bisnis digital, sementara urusan pajak ditangani oleh ahlinya!

