Di era serba digital, karya kreatif tidak lagi terbatas pada bentuk fisik. Musik, foto, desain grafis, hingga e-book kini dapat dengan mudah diunduh dan dibagikan secara online.
Pernah mendengar cerita kreator yang penghasilannya dari royalti digital tembus jutaan rupiah per bulan? Menariknya, sebagian dari mereka kaget ketika tahu bahwa uang tersebut ternyata wajib dikenai pajak. Bagaimana bisa? Bukankah karya digital sifatnya sekali upload, lalu terbayar tanpa banyak urusan administrasi?
Faktanya, aturan pajak royalti digital sudah diatur secara resmi, dan jika Anda adalah seorang kreator, mulai dari musisi, penulis, desainer, hingga pembuat konten digital ini adalah informasi yang tidak boleh terlewatkan. Bagaimana ketentuannya? Dan seperti apa cara menghitung pajaknya supaya tidak merugikan diri sendiri? Yuk, kupas tuntas!
Pajak Royalti Digital di Indonesia
Royalti digital merupakan objek pajak yang secara resmi dikenakan oleh pemerintah Indonesia. Jika Anda memperoleh penghasilan dari penjualan atau lisensi atas aset digital seperti karya seni digital, musik, video, aplikasi, desain grafis, e-book, hingga software, maka penghasilan tersebut termasuk dalam kategori royalti yang wajib dilaporkan dan dikenai pajak.
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), royalti didefinisikan sebagai imbalan atas penggunaan atau hak menggunakan hak cipta, paten, merek dagang, atau informasi yang berkaitan dengan bidang industri, komersial, atau ilmiah.
Bagaimana Cara Menghitungnya?
Setelah tahu royalti digital dikenai pajak, pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana cara menghitungnya? Tenang, prosesnya sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan. Dengan memahami rumus dan tarif yang berlaku, Anda bisa menghitung kewajiban pajak royalti digital secara tepat dan menghindari kesalahan pelaporan. Yuk, ikuti cara berikut!
1. PPh Pasal 23
Apabila Anda menerima royalti sebagai Wajib Pajak dalam negeri, baik sebagai individu maupun badan usaha, maka dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. Artinya, pajak dihitung langsung dari nilai total royalti tanpa dikurangi biaya apa pun.
Namun, jika Anda adalah Wajib Pajak orang pribadi dan menggunakan skema Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), maka hanya 40% dari penghasilan bruto yang dianggap sebagai penghasilan kena pajak. Dengan tarif 15%, maka tarif efektif yang berlaku menjadi 6% dari bruto.
Sebagai contoh, jika Anda memperoleh royalti sebesar Rp1.000.000.000, maka:
- Dengan tarif standar: 15% × Rp1.000.000.000 = Rp150.000.000
- Dengan skema NPPN: 6% × Rp1.000.000.000 = Rp60.000.000
Pihak yang membayarkan royalti kepada Anda wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23, menyetorkan ke kas negara, dan memberikan Bukti Potong sebagai dokumen pelaporan pajak. Jika Anda tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan naik dua kali lipat menjadi 30% dari bruto sesuai ketentuan perpajakan.
2. PPh Pasal 26
Jika Anda membayarkan royalti digital kepada pihak yang berdomisili di luar negeri dan tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, maka penghasilan tersebut dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif dasar 20% dari penghasilan bruto. Pajak ini bersifat final, sehingga tidak bisa dikreditkan kembali dalam laporan pajak penerima.
Namun, dalam beberapa kasus, tarif ini bisa lebih rendah jika Indonesia memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara domisili penerima royalti. Untuk memanfaatkan tarif lebih rendah tersebut, pihak penerima harus mengajukan Certificate of Domicile (CoD) atau SKD. Misalnya, berdasarkan perjanjian Indonesia dan Amerika Serikat, tarif pajak atas royalti bisa turun menjadi 10% jika CoD disertakan.
Sebagai contoh, jika Anda memperoleh royalti sebesar Rp1.00.000.000, maka:
- Jika royalti sebesar Rp100.000.000 dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri tanpa CoD, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% × Rp100.000.000 = Rp20.000.000
- Jika tersedia CoD dan tarif treaty sebesar 10%, maka pajak yang dipotong hanya Rp10.000.000
Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak menjadi kewajiban pihak pemberi royalti, bukan penerima. Karena itu, penting untuk memverifikasi kelengkapan dokumen domisili pajak sebelum melakukan pembayaran.
Nah, sudah jelas bahwa royalti digital itu lebih dari sekadar cuan yang mengalir, ia juga membawa kewajiban pajak yang perlu Anda pahami dan jalankan dengan tepat. Mulai dari jenis-jenis pajak (PPh Pasal 23 dan 26), ketentuan tarif, hingga cara menghitungnya, semuanya bisa jadi membingungkan jika dilalui sendiri.
Jadi, jika Anda merasa perlu bantuan lebih lanjut, baik untuk memastikan perhitungan yang akurat, meminimalkan risiko administrasi, atau bahkan mempersiapkan pelaporan pajak secara tuntas, konsultasikan ke JT Consulting!
Sebagai konsultan pajak berlisensi di Jakarta, kami siap membantu urusan seperti perencanaan pajak, pelaporan SPT, hingga pendampingan saat pemeriksaan pajak. Dengan dukungan tim yang berpengalaman, urusan pajak Anda jadi lebih mudah dan aman.
Intinya, penghasilan dari royalti digital itu sah-sah saja, asal diiringi dengan kepatuhan pajak yang rapi!

