Pendapatan dari sewa properti kini semakin dilirik oleh banyak perusahaan sebagai sumber pemasukan tambahan. Tapi, satu hal yang sering jadi perhatian utama adalah urusan pajaknya, terutama jika nilai sewanya cukup besar.
Banyak yang menganggap pajak sewa properti itu rumit dan merepotkan. Padahal, jika dipahami dengan baik, prosesnya bisa lebih mudah dan terkontrol.
Nah, supaya Anda tidak bingung dan bisa menghindari kesalahan dalam penghitungan, yuk ketahui aturan serta cara menghitung pajak penghasilan sewa properti khusus untuk perusahaan!
Pajak Penghasilan atas Sewa Properti untuk Perusahaan
Bagi perusahaan yang menyewakan properti, penting untuk memahami seluruh kewajiban perpajakannya, mulai dari tarif pajak, waktu pembayaran, hingga prosedur pelaporan. Dengan pemahaman yang tepat, perusahaan bisa terhindar dari sanksi pajak yang merugikan di kemudian hari.
Ketentuan tentang pajak penghasilan (PPh) dari sewa properti ini diatur dalam PP No. 34 Tahun 2017 dan PMK No. 34/PMK.010/2017. Regulasi tersebut menjelaskan siapa saja yang wajib membayar pajak, kapan harus dibayarkan, serta bagaimana cara perhitungannya.
Nah, berikut penjelasan lebih lanjut bagaimana aturan ini diterapkan dalam praktik pajak penghasilan sewa properti bagi perusahaan!
1. Subjek dan Objek Pajak
Subjek pajak adalah pihak yang menerima penghasilan dari penyewaan properti, umumnya pemilik atau perusahaan penyewa. Sedangkan objek pajaknya adalah penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan, termasuk rumah, ruko, maupun gedung perkantoran.
Jika penyewa bukan pemotong pajak, maka tanggung jawab pelaporan dan pembayaran pajak berada di tangan pemilik properti. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pelaporan.
2. Tarif Pajak Sewa Properti
Tarif PPh final atas sewa properti adalah 10% dari penghasilan bruto (tanpa pengurangan biaya operasional). Misalnya, untuk pendapatan sewa Rp100 juta, pajak yang dibayarkan adalah Rp10 juta.
3. Waktu Pembayaran Pajak
Pembayaran pajak dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah penghasilan diterima. Keterlambatan bisa dikenai sanksi berupa denda administrasi, sehingga pencatatan tanggal penerimaan sewa sangat penting.
4. Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran
Jika penyewa adalah pihak yang berkewajiban memotong pajak, maka pajak langsung dipotong dan disetor ke kas negara, disertai bukti potong untuk pemilik. Sebaliknya, jika penyewa bukan pemotong, pemilik properti harus menyetor pajaknya secara mandiri.
5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Jika pemilik properti terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka transaksi sewa dikenai PPN 11% dari nilai sewa. PPN ini dibebankan kepada penyewa dan wajib didukung dengan faktur pajak.
Contoh: untuk sewa Rp100 juta, PPN sebesar Rp11 juta dikenakan di luar PPh final.
6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB tetap menjadi kewajiban yang harus diperhatikan. Umumnya dibayar oleh pemilik, namun bisa dialihkan ke penyewa sesuai perjanjian. Besaran PBB ditentukan berdasarkan NJOP dan tarif daerah setempat.
7. Pelaporan dan Dokumentasi
Pajak penghasilan sewa properti wajib dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2). Simpan bukti pembayaran, bukti potong, dan faktur pajak sebagai arsip dan dokumen pendukung pelaporan tahunan.
Nah, itulah rangkuman lengkap soal aturan dan cara menghitung pajak penghasilan sewa properti untuk perusahaan. Meskipun terlihat ribet di awal, sebenarnya semuanya bisa jadi lebih mudah jika Anda sudah paham alurnya, mulai dari siapa yang wajib bayar, berapa tarifnya, sampai cara pelaporannya.
Intinya, dengan memahami kewajiban pajak secara menyeluruh, perusahaan bisa lebih tenang, terhindar dari sanksi, dan tetap patuh hukum. Jadi, jangan ragu untuk mencatat poin-poin penting di atas! Atau, Anda bisa konsultasikan langsung ke JT Consulting, konsultan perpajakan yang siap bantu perusahaanmu lebih tertib, efisien, dan bebas dari risiko denda!